Home »
» HADITS SETELAH DIBUKUKAN
HADITS SETELAH DIBUKUKAN
Written By Unknown on Selasa, 12 Maret 2013 | Selasa, Maret 12, 2013
HADITS SETELAH DIBUKUKAN
Oleh : Suwari
A. Pendahuluan
Salah satu fungsi hadits adalah merupakan penafsiran Al Qur’an dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi SAW, merupakan perwujudan dari Al Qur’an yang ditafsirkan manuia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu, siapa saja yang ingin mengetahui tentang manhaj (metodologi) praksis Islam dengan segala karakteristik dan pokok-pokok ajarannya, maka hal itu dapat dipelajari secara rinci dan teraktualisasi dalam Sunnah Nabi, yakni ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi SAW.[1]
Adanya pembukuan hadits tentunya mempunyai dampak positif yang banyak sekali terhadap perkembangan dan penyebaran ajaran Islam. Hal ini dapat kita lihat ketika ada suatu permasalahan atau perselisihan mengenai suatu hukum yang terjadi di antara umat Islam, setelah mereka memeriksa dan mencari dalil tentang hukum tersebut dalam Al Qur’an hampir dapat dipastikan mereka akan mencari dalil sunnah (hadits) sebagai pilihan kedua.
Dalam pembahasan makalah ini penulis ingin mengemukakan secara mendalam sejak pengertian, latar belakang dan permulaan pembukuan hadits, perselisihan pemakaian hadits sebagai dasar hukum Islam dan terakhir dampak atau implimentasi dari pembukuan hadits. Pembahasan mengenai pengertian memang sudah berulang kali kita bahas dan juga latar belakang serta permulaan kodifikasi hadits juga pernah kita bahas bersama namun, kali ini penulis ingin mengemukakan sesuatu yang beda yang mungkin dapat menambah wawasan kita tentang pembukuan hadits khususnya.
B. Pembahasan
1. Pengertian Hadits
Para ahli ilmu hadits mendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak.[2] Namun bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalan di sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada Shahih Bukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkan dengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkan perutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain, dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain.
Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitab haditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakan sahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnya terdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarh al-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawquf dalam Shahih Bukhari.
Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masih dapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namun jangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat, para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayat tentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada para sahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari, misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw. Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagai negeri.[3]. Karena itu menurut Dr. Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in."[4]
Pendapat Dr. Atar ini sangat cocok sekali dengan realita yang kita hadapi mengenai definisi hadits tersebut. Dari apa yang telah kita pelajari bersama mengenai definisi serta macam-macam hadits ternyata ada kontradiksi antara definisi dan praktek pembagian hadits, sehingga sesuatu yang bukan hadits sering kita sebut sebagai hadits dan bahkan sering kita jadikan dalil dalam berdiskusi.
Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikan kaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") pada kematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul pada ahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannya termasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abdullah al-Bajali, bukan ucapan Nabi saw.[5]. Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal pada shalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepada hadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsman ibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalam adzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umar ibn Khatab.
2. Selintas Latar Belakang Pembukuan Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutan kehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yang bijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang 'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa al-Rasyidun, sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib.
'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Din al-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karena keyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutan langsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jika bukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.
Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideology Jama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn 'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-Allah Ibn Mas'ud.
Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serba inklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau "sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, juga merupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi penduduk Madinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukuan "tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akan memberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuan seluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup. Dan berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelak disebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan para pendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongan sunnah dan jama'ah).
Mushthafa al-Siba'i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan 'Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i, sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'Abd Allah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash.[6]
3. Perselisihan tentang Otoritas Hadits
Seperti yang telah kita ketahui bahwa tentang adanya kelompok-kelompok kaum muslim yang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulan hadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karena ingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim. Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "Ingkar Hadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat dan mantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, serta seorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria, golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam dunia Islam, dari dahulu sampai sekarang.
Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yang menolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, dan bahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapan syari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah (yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalam keabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadi penambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyak kontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Mereka mendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut:
a. Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah.
b. Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya.
c. Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28).
d. Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan daridiriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku."[7]
Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang tegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Dia menyatakan:
1. Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi hanya dalam garis besar saja.
2. Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak bersandar pada penggunaan tulisan).
3. Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat, disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis. Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi. Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi, beberapa sahabat telah melakukannya.
4. Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa, Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secara tersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an.[8]
Perbedaan pendapat seperti ini masih terus terjadi sampai saat ini, karena masing-masing pihak tetap berkeyakinan bahwa dasar argument mereka adalah lebih tepat serta lebih shahih untuk dijadikan dalil terhadap pilihan mereka. Untuk lebih jelasnya perbedaan semacam ini juga terjadi dan sudah menjadi bahan perdebatan antara kaum Syi’ah dan kaum Sunni, seperti perdebatan masalah ithrati atau sunnati.
Sebenarnya hal itu ada dua Hadits yang satu menurut jalur Ahlul Bait atau lmamiyah yang berbunyi sebagai berikut:
“Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berharga, Al-Qur’an dan Ithrah Ahli Baiiku, kalau kalian berpegang teguh pada keduanya kalian tidak akan sesat."
Menurut Syi‘ah lmamiyah hadits tersebut hampir dikatakan mutawatir, bukan hanya shahih saja. Kalau hadits ini kita tinjau dan kitab-kitab standard kita Ahlus sunnah (Muslim, Kitab Fadhoilus Sohabah Bab Fadhail Ali, Turmudzy Juz 2, ha. 308, Mustadrak al-Hakim Juz 4, ha. 48, 109, Musnad Ahmad Juz 3, hal. 17, Nasa’i Kitab Khosois Imam Ali) maka kita menganggap hadits ini yang menyebutkan “Ithrati”, kita Ahlussunnah menganggapnya shahih. Hampir semua kitab hadits meriwayãtkan hadits Ithrah ini kecuali Bukhari. Imam Muslim meriwayatkannya dalam Kitab Fadhoil Ahiul Bait; Imam Turmudzy, An-Nasa’i dalam kitabnya Al-Khoshois, dan Ahmad dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, Kanzul Ummal, Ath-Thobakot dll. Dan juga di dalam tafsir-tafsir: Ibnu Katsir, Jama ‘ul Ushul dan lain-lain.
Jadi kita Ahlus Sunnah sendiri menganggap hadits ini shahih. Sedangkan hadits serupa tetapi menyatakan kitabullah wa sunnati dan itu pun hanya terdapat pada dua jalur saja. Kita Ahlus Sunnah membenarkannya dan tidak mau mengambil yang lain yakni kitabullah wa ithrati padahal hadits itu lebih kuat dan lebih banyak,[9] tetapi hanya “kitabullah wa sunnati” yang kita dipakai.
5. Implikasi Pembukuan Hadits
Adanya pembukuan hadits mempunyai banyak implikasi-implikasi terhadap perkembangan pemahaman tentang ajaran Islam umumnya, serta perkembangan hadits dan ulumul hadits itu sendiri khususnya.
a. Implikasi Praksis
Implikasi praksis dapat kami uraikan menjadi beberapa bagian di bawah ini :
1) Memudahkan pencarian hukum-hukum syari’at mengingat hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al Qur’an.
Berhukum dengan hadits Nabawi merupakan kebutuhan agama yang sudah pasti. Dan dalam perkembangannya hadits-hadits tersebut telah disusun atau dibukukan berdasarkan masailul fiqh. Seperti kitab-kitab sunan dan lain-lain.
2) Memudahkan penilaian hadits karena sebagian hadits sudah diteliti secara mendalam oleh peneliti sebelumnya.
3) Terpeliharanya kemurnian tradisi Nabi
Banyaknya berita-berita yang sampai ke hadapan kita dengan mengatasnamakan Nabi, sering membuat kita ragu akan kebenaran berita tersebut. Hanya dalam hadits (sunnah) Nabi, yang terwakili dengan hadits shahih, kemurnian warisan Nabi Muhammad dapat terpelihara.[10]
4) Memungkinkan adanya penulisan-penulisan buku-buku hadits baru setelah penulisan kitab-kitab terdahulu yakni :
b. Implikasi Teoritis
1. Hadits ahad dapat diterima
2. Ilmu hadits akan berkembang sejalan dengan semakin banyaknya tantangan yang dihadapi oleh hadits
3. Pintu ijtihad semakin lebar dan pintu taklid semakin sempit.
Namun tidak menutup kemungkinan adanya implikasi yang lain yang belum terinventarisir dengan baik oleh penulis.
Berdasarkan ijma’ qath’iy dari para sahabat ra, untuk tidak mengambil khabar ahad dan dzanniy untuk menetapkan salah satu rukun dari rukun-rukun aqidah yakni al-Qur’an yang membangun seluruh rukun aqidah islamiyah, maka tidak ada tempat lagi bagi pendapat yang menyatakan kemungkinan membangun aqidah diatas keraguan (dzan) semisal khabar ahad. Ijma’ sahabat telah meluluhlantakkan pendapat dan propaganda yang menyatakan khabar ahad dapat untuk dijadikan sebagai dalil aqidah.
Barangsiapa berpendapat bahwa khabar ahad membawa implikasi iman
(keyakinan), sesungguhnya ia telah menuduh sahabat-sahabat Rasulullah
Saw telah bersepakat mengurangi dan menambah kitabullah. Sebab para
sahabat Rasulullah Saw tidak mencantumkan riwayat-riwayat ahad (yang
diklaim sebagai al-Qur’an) kedalam mushaf Imam yang wajib kita yakini
keotentikannya. Pendapat diatas juga membawa implikasi bahwa para
sahabat telah melakukan kesalahan dalam masalah ushuluddin, padahal
mustahil bagi mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan dan kesesatan.
Sungguh, al-Qur’an dan sunnah telah menjamin keadilan mereka.
Dengan demikian madzhab yang menerima dzan dan khabar ahad dalam aqidah
adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapat
ini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik
dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa
khabar ahad hanya menghasilkan /dzan/ (dugaan) saja tidak menghasilkan
keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.
C. Kesimpulan
Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya, ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harus merujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an). Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihat hadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnah dalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakan adalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis ini seringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah. Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankan kepada kita oleh para ulama terdahulu.
[1] Dr. Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW. Pen. M. Al Baqir. Bandung. Karisma. 1999
[2] Dr. Nurrudin Atar, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26).
[3] Fath-u 'l-Bari 1:47
[4] Dr. Nurrudin Atar. Op.Cit. hal. 27
[5] Nayl al-Awthar 4:148)
[6] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Sunnah-Nur3.html
[7] Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah Haditsan" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3 (Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26.
[8] Ibid. hal. 27
[9] Jalur (sanad) hadits kitabullah wa ithrati -- mencapai 60 jalur ebih dan sudah disepakati keshahihannya oleh Ulama-ulama AhIi Sunnah wal Jamaah. Ibnu Hajar berkata dalam buku Showaiq Al-Muhriqah: “Ketahuilah, bahwa hadits tsaqalain memiliki banyak Jalur yang datang dari 20 sahabat. Sekali Beliau SAW mengucapkan di Padang Arafah juga pernah di Ghadir Khum, di kamar Beliau ketika sedang sakit yang membawanya wafat, ketika pulang dan Thaif semuanya tidak ada pertentangan satu sama lainnya, pengulangan itu menunjukkan betapa perhatian Beliau kepada Al-Qur’an dan Al-lthrah. Adapun Hadits wa sunnati hanya diriwayatkan oleh dua atau tiga Ulama di antaranya Imam Malik dalam Muwatha’nya, Ath-Thabari dalam Musnad Kabirnya dari Ibnu Hisyam dalam buku Sirahnya. Untuk lebih jelasnya lihat buku Hadits Tsaqalain yang diterbitkan oleh kelompok pendekatan antar Madzhab “Dar At Taqrib”.
[10] Daniel W. Brown. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Penj. Jaziar Radianti, dkk. Penerbit Mizan. Bandung. 2000. hal. 45
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.