Ter Update :
Home » » Interpretasi tentang Ulama Menurut al Qur'an

Interpretasi tentang Ulama Menurut al Qur'an

Written By Unknown on Selasa, 12 Maret 2013 | Selasa, Maret 12, 2013


Interpretasi tentang Ulama Menurut al Qur'an

(Kajian surah Fatir ayat 28 dan as Syu’ara ayat 197)

Pendahuluan

Belakangan ini sering kita mendengar ada orang yang selalu berdalih tentang suatu perkara yang didasarkan pada hasil keputusan ulama, atas restu ulama, permintaan alim ulama dan lain semacamnya. Begitu mudah mereka menyebutkan atau memberikan lebel ulama kepada seseorang walaupun dalam pernyataan-pernyataan mereka itu tidak menutup kemungkinan adanya motif-motif laten baik politik maupun sosial budaya yang melatar belakangkinya.

Hal ini sering terjadi di Indonesia khususnya, ada kerancuan di sini dalam mengklasifikasikan seseorang bisa diberi label ulama atau belum. Sedangkan di negara-negara Timur Tengah kata-kata ulama malah jarang disebut-sebut. Mereka lebih suka memberikan label fuqaha kepada ahli fiqih, muhaddisin kepada ahli hadits mukallimin kepada ahli teologi dan sebagainya. Dan umumnya bagi para ahli ilmu kealaman atau ilmu pengetahuan dan teknologi tidak pernah diberi label ulama walaupun mereka mempunyai keilmuan yang begitu mendalam seakan-akan keilmuan mereka kurang mendapat perhatian dari kalangan umat Islam.

Juga sering terjadi terdengar penggunaan istilah “ulama yang intelek dan intelek yang ulama”, hal tersebut tambah membuat penulis penasaran untuk mengetahui lebih lanjut definisi ulama, dan sekaligus mengoreksi apa benar pemakaian istilah tersebut atau tidak.

Dari sini, penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang interpretasi ulama menurut al Qur’an, siapa dan bagaimana dia seharusnya. Penulis hanya menekankan pembahasan pada dua surah yaitu surah Fatir ayat 28 dan as Syu’ara ayat 197, karena kata ulama secara literleks hanya disebutkan dalam kedua ayat tersebut.

Interpretasi Ulama

Sebelum kita mengkaji lebih jauh tentang ulama, perlu diketahui bahwa kata tersebut berasal dari kata Arab ( علماء ) yang merupakan bentuk jamak dari kata mufrad ( عليم ) bentuk mubalaghah dari ( عالم  ) sehingga mempunyai arti orang yang banyak ilmunya. Kata ulama ini selanjutnya menjadi istilah resmi dalam Islam karena disebutkan secara jelas dalam al Qur'an maupun hadits Nabi. Di dalam al Qur'an, istilah tersebut disebut dua kali, yaitu dalam surat Fathir: 28

Artinya   : Dan  demikian  (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.(28)[1]

Adapun pengertian yang dapat dipahami dalam ayat di atas adalah bahwa ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu ke alaman atau ilmu kauniyah. Hal tersebut dapat ditangkap dari penjelasan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang beberapa fenomena kealaman.

Dan dalam surat As-Syuara:197

Artinya   : Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya? (197)[2]

Di sini, pengertian ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang agama. Dari kedua ayat tersebut di atas kemudian dapat disimpulkan bahwa ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang kealaman dan atau ilmu agama, dan pengetahuan yang dimilikinya itu dipergunakan untuk mengantarkan para rasa khasyah (takut atau tunduk) kepada Allah SWT.

Sedang hadits Nabi menyebutkan, antara lain :

... وان العلماء ورثة الانبياء .... رواه ابو داود عن ابى درداع

Meskipun Ibnu Hajar al Asqalani, seorang ahli hadits, meragukan kesahihan hadits ini, tetapi jiwa hadits ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al Qur’an pada surat Fatir ayat 32 yang berbunyi :

Artinya   : “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami.”[3]

Ketika para nabi sudah tiada, maka tugas para ulama, yaitu tabligh atau menyampaikan (surah al Maidah ayat 67), tabyin atau menjelaskan (surat an Nahl ayat 67), tahkim atau memutuskan perkara ketika ada persoalan di antara manusia (surat al Baqarah 2:213), dan sebagai uswah atau contoh teladan (surah al Ahzab ayat 21)[4]

Lebih lanjut, untuk menentukan konotasi istilah ulama, disamping didasarkan pada arti bahasanya, haruslah disesuaikan dengan jiwa dan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al Qur'an dan hadits-hadits Nabi yang bersangkutan. Dari dua ayat dan hadits di atas, dapat ditarik pengertian bahwa ulama ialah orang yang memiliki kedalaman ilmu yang dengan ilmunya menjadi bertaqwa kepada Allah SWT.

Lebih lanjut, hal ini tergambar dalam batasan-batasan yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat Fathir : 28 sebagai berikut :

العالم من خشي الرحمن بالغيب ورغب فيما رغب الله فيه وزهد فيما سخط الله فيه[5]

Artinya   : Orang alim ialah orang yang takut kepada Allah sebagai Zat yang al Ghaib, senang terhadap apa yang disenangi Allah dan menyingkirkan segala yang dibenci Allah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang ulama tidak dapat diukur dari kadar kealimannya terhadap hadits, fiqh ataupun masalah keagamaan lainnya, akan tetapi ia haruslah merupakan orang yang benar-benar dapat memancarkan nur-nur ilahiyah dalam hati, ucapan dan tingkah lakunya.

Dan juga dikemukakan oleh As Suyuthi sebagai berikut :

العلماء بالله الذى يخافون الله, العالم من خشي الله, كفى بالمرء علما ان يخشى الله وكفى بالمرء جهلا ان يتعجب بعمله, كفى بخشية الله علما وكفى باغترار المرء جهلا.[6]

Artinya :

-          Ulama Allah ialah mereka yang takut kepada Allah

-          Orang alim ialah orang yang takut kepada Allah

-          Cukup membuktikan bahwa seseorang disebut berilmu jika ia takut kepada Allah, dan cukup membuktikan kebodohan seseorang jika ia menyombongkan perbuatannya sendiri.

-          Adanya sikap takut kepada Allah itu telah cukup membuktikan ilmu seseorang, dan dengan tertipu oleh syetan itu juga telah cukup membuktikan kebodohan seseorang.

Dengan demikian, kekhususan ulama sebagai ahli ilmu adalah kadar takwa yang diwujudkan sebagai implementasi dari ilmunya yang mendalam, bukan kekhususan bidang atau jenis ilmu yang dimilikinya. Bidang ilmu apapun, jika dimiliki secara mendalam mencapai takwa kepada Allah. Dan sesungguhnya kemaslahatan hidup manusia tidak akan bisa sempurna kecuali dengan keahlian seperti itu.[7] Karena itu, dalam rangkaian ayat yang dikutip tulisan ini, tampak sebelum Allah berbicara tentang ulama, Allah justru mengapresiasikan berbagai fenomena alam, sebagai bukti kekuasaan Allah, sehingga dapat menghantarkan pada titik keimanan yang berlanjut dengan ketakwaan dan kesempurnaan hidup.

Bahkan paling paling tidak ada 8 ayat (19-26) yang sebelumnya juga telah mengusik pemikiran untuk melakukan pemahaman, peresapan dan analisis lebih cermat, sebagai awal dari proses pencapaian ketakwaan yang didasarkan atas kedalaman ilmu tersebut. Delapan ayat tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut : Pada mulanya Allah mempertanyakan apakah sama antara orang buta dan orang yang dapat melihat, antara gelap dan terang, antara yang teduh dan yang panas, antara yang yang hidup dan yang mati. Kemudian Allah menyataka memberikan pendengaran kepada siapapun yang dikehendaki. Selanjutnya, Allah menjelaskan fungsi Rasul bagi umat sebagai pembawa bayinat (berbagai penjelasan) yang dating dari sisi-Nya dan harus diikuti, serta mengancam siapapun yang mendustakannya.

Hanya saja, seseorang yang sama sekali tidak memiliki ilmu agama, meskipun sangat luas dalam ilmu-ilmu lain, tidaklah mungkin takut kepada Allah sebab ia tidak mengenali Allah. Padahal untuk menimbulkan rasa takut harus terlebih dahulu mengenal siapa yang mesti ditakuti itu. Thanthawi Jauhari menyatakan bahwa :

الخشية شرطها المعرفة[8]

Artinya : “Syarat mutlak terjadinya rasa takut adalah mengenali dahulu,”

Dan Al Maraghi menyatakan :

انما يخاف الله فيتقى عقابه بطاعته العالمون بعظيم قدرته على ما يشاء[9]

Artinya : “Sesungguhnya orang yang sanggup takut kepada Allah lalu menjaga diri dari siksaan dengan cara berbuat taat kepada-Nya hanya orang-orang yang mengenali Allah dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu.”

Adapun istilah (علماء) sendiri mengalami perkembangan dalam pemakaiannya. Hal ini terjadi lantaran perkembangan pemakaian kata ( علم ). Pada mulanya kata ilmu itu digunakan untuk pengertian ilmu pengetahuan mengenai Allah SWT., tanda-tanda kebesaran dan perbuatan-perbuatan-Nya kepada sekalian makhluk. Dalam perkembangan berikutnya, menurut Al Ghazali, kata ilmu banyak dipakai dengan pengertian bahwa orang alim ialah orang yang mahir berbantah masalah khilafiah, sekalipun tidak mengetahui tafsir, hadits, bahkan hanya memiliki ilmu perbantahan khilafiyah itu saja.[10]

Pada masa al Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) tidak ada pemisaha antara orang yang memiliki ilmu agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemimpin politik praktis. Para sahabat Nabi SAW umumnya memiliki pengetahuan keagamaan, pengetahuan kealaman, dan sekaligus mereka juga pelaku-pelaku politik praktis. Para sahabat terkemuka pada masa itu biasanya duduk dalam suatu dewan pertimbangan yang disebut ahl al Halli wal al ‘Aqd. Oleh ulama, para sahabat ini kemudian disebut ulama salaf.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi. Misalnya, ahli fiqih disebut fuqaha, ahli hadits disebut muhaddisin, ahli kalam disebut mutakallim, ahli tasawwuf disebut mutasawif, dan ahli tafsir disebut mufassir. Sementara orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut ulama, tetapi disebut ahli dalam bidang masing-masing. Tokoh-tokoh seperti al Khawarizmi, al Biruni, dan Ibnu Hayyan tidak disebut sebagai ulama, tetapi disebut sebagai ahli kauniyah. Tokoh-tokoh itu baru disebut ulama bila merangkap memiliki ilmu pengetahuan keagamaan.

Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semula dimaksudkan sebagai bentuk jamak, berubah pengertiannya menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama menjadi lebih sempit, karena diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan tentang  keagamaan dalam bidang fiqih. Ulama identik dengan fuqaha, bahkan dalam pengertian awam sehari-hari ulama adalah fuqaha dalam bidang ibadah saja.

Namun betapapun semakin sempitnya pengertian ulama dari dahulu sampai sekarang, namun cirri khasnya tetap tidak bisa dilepaskan, yakni ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam rangka khasyah (adanya rasa takut atau tunduk) kepada Allah SWT. Oleh karena itu, seorang ulama harus orang Islam. Seseorang yang baru memiliki ilmu keagamaan (keislaman) seperti para ahli orientalis tidak dikatakan ulama.

Selanjutnya al Ghazali mengklasifikasikan ulama menjadi dua bagian, yaitu :

Ulama suu’ atau ulama dunia

Yaitu mereka yang menggunakan ilmunya sekedar untuk memperoleh kenikmatan di dunia, meraih kehormatan dan pangkat duniawi[11]. Klasifikasi ini dikaitkan dengan surat Ali Imran:187

Artinya   : “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”[12]

Ulama Akhirat

Yaitu ulama yang tidak masuk kualifikasi di atas[13]. Dalam hal ini beliau mengaitkan dengan surat Ali Imran:199

Artinya   : “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan-nya.”[14]

Lebih lanjut, Al Ghazali melukiskan sifat karakteristik mereka, antara lain sebagai berikut :

1.      Orientasi keilmuannya selalu diperhitungkan dengan pertanggungjawaban di akhirat

2.      Sikap perbuatannya konsisten dengan ucapannya

3.      Penuh semangat untuk senantiasa mengembangkan ilmunya

4.      Sederhana dalam hidup sehari-hari

5.      Tidak berambisi untuk memperoleh posisi formal

6.      Cermat dan waspada dalam memberikan fatwa

7.      Orientasi aktifitasnya untuk pembangunan kedekatan diri kepada Allah

8.      Selalu meningkatkan komitmensi keagamaan.[15]

Analisis Kritis

Pemberian label ulama tidak seharusnya hanya diberikan kepada orang yang mahir dalam bidang ilmu-ilmu agama saja dan juga tidak kepada orang-orang yang mahir dalam bidang ilmu-ilmu kealaman saja. Akan tetapi ulama seharusnya dapat memiliki keluasan ilmu baik dalam bidang agama maupun dalam ilmu pengetahuan umum. Karena keluasan ilmu menurut Ibnu Qayyim lebih baik dari pada kedalaman ilmu[16]. Orang yang hanya mahir dalam ilmu agama dia akan bodoh dalam bidang ilmu lainnya begitu juga sebaliknya orang yang hanya mahir dalam bidang ilmu pengetahuan umum saja dia akan bodoh dalam pengetahuan bidang agama. Jadi sebaiknya seorang ulama mampu mendalami kedua disiplin ilmu pengetahuan tersebut tanpa adanya dikotomi. Hal tersebut juga dapat dipahami dari kedua ayat yang telah dijelaskan di atas.

Dalam mengambil kebijakan atau keputusan hukum seorang ulama dituntut untuk mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek ini harus didalaminya baik aspek duniawi maupun ukhrawi sehingga keputusannya betul-betul dapat menimbulkan mashlahah mursalah bagi umat yang menjalankan keputusan mereka.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1.      Surah Fatir ayat 28 mengisyarakatkan bahwa ulama adalah orang yang mempunyai kompetensi dalam bidang kealaman.

2.      Sedangkan surah as Syuara ayat 197 mengindikasikan bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam bidang keagamaan.

3.      Kata ulama mengalami pergeseran makna sehingga jarang sekali orang disebut ulama kalau tidak dapat menguasai kedua bidang keahlian yaitu dalam bidang agama dan pengetahuan kealaman.

4.      Di dalam dua ayat di atas, mengisyaratkan bahwa ulama yang sebenarnya adanya yang mempunyai pengetahuan kealaman dan keagamaan.

5.      Hekakat ulama adalah orang yang mempunyai ilmu keagamaan dan kealaman yang dengan ilmunya ia menjadi takut kepada Allah.

Daftar Rujukan

Holy Qur’an, Shahr, Mesir, 1997. (CD-ROM Holy Qur’an)

Azyumardi Azra, Eksiklopedi Islam. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta

As Suyuthi, Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, Darul Kutb, Beirut, 1923, Juz 5.

Hasan bin Ali al Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim. Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2001

Thanthawi Jauhari. Al Qur'an wa al Ulumu al Ashriyah

Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Juz 22

Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Juz I

TUGAS MAKALAH

STUDI AL QUR’AN

INTERPRETASI TENTANG ULAMA MENURUT AL QUR'AN

(Kajian surah Fatir ayat 28 dan as Syu’ara ayat 197)

Dosen Pembimbing :

Dr. H. Saad. Ibrahim

  



Oleh :

Suwari / 04920021

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

2005

[1] Holy Qur’an, Shahr, Mesir, 1997. (CD-ROM Holy Qur’an)

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Azyumardi Azra, Eksiklopedi Islam. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hlm. 120

[5] Ibid.

[6] As Suyuthi, Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur, Darul Kutb, Beirut, 1923, Juz 5, hal. 250

[7] Hasan bin Ali al Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim. Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 285

[8] Thanthawi Jauhari. Al Qur'an wa al Ulumu al Ashriyah, hlm. 83

[9] Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, Juz 22. hlm. 87

[10] Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Juz I, hlm. 33

[11] Ibid. hlm.

[12] Holy Qur’an. Ibid.

[13] Al Ghazali, Ibid.

[14] Holy Qur’an. Ibid.

[15] Al Ghazali, Ibid.

[16] Hasan bin Ali al Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibn Qayyim, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 291
Share this post :

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. MAULANA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger