PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT
IKHWAN AL SAFA
A. Ikhwan
Al Safa
Ikhwan Al Safa adalah sebuah perkumpulan para
mujtahidin yang bergerak dalam lapangan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan
namanya, Ikhwan Al Safa berarti persaudaraan yang suci dan bersih. Maka asas
utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang dilakukan secara tulus dan
ikhlas, kesekawanan yang suci, dalam menuju ridlo Ilahi. Perkumpulan ini
dibentuk di kota
Bashrah Irak sekitar tahun 340/941 olah Zayd Ibn Rifa'ah dan berkembang pada
abad ke dua Hijriah.[1]
Informasi lain menyebutkan bahwa perkumpulan
ini lahir pada abad ke 10 M. di kota
Bashrah, pada masa pemerintahan Al Mansur, khalifah kedua pemerintahan Bani
Abbas. Dari Bashrah, Ikhwan Al Safa terus berkembang ke berbagai daerah seperti
Iran
dan Quwait. Organisasi ini mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang
didasarkan atas persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap saling
mencintai sesama saudara muslim dan kepedulian yang tinggi terhadap orang
muslim.[2]
Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi guru dan muballigh bagi
masyarakatnya.
Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi
oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh
ajaran-ajaran luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada
ilmu pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka bekerja
dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak penguasa waktu
itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang timbul.[3]
Dalam perkembangannya, perkumpulan ini
menggunakan cara yang halus dan bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan
pribadi, jiwa dan akidah manusia.
Dalam aktifitas Ikhwan Al Safa, banyak juga
memfokus untuk mempelajari bidang kefilsafatan. Karena di antara pendiri
perkumpulan ini terdiri dari para filosof sehingga pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh filsafat yang berkembang saat itu seperti filsafat Yunani dan Persia. Dan
kemudian dipadukan dengan ajaran Islam. Sehingga menjadi satu ikhtisar dan
madzhab filsafat tersendiri. Dari sinilah akhirnya Ikhwan al Safa menyusun
sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah yang berjudul "Rasail
Ikhwan al Safa wa al Kullah al Wafa yang membahas tentang pengetahuan dan
mencakup semua objek studi manusia, seperti salah satunya tentang masalah pendidikan.
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa
mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita
kebenaran, elit intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat
untuk menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militant untuk beramar ma'ruf
nahi mungkar. Dan sebagian sejarawan komtemporer menganggap bahwa perkumpulan
ini merupakan kelompok terorganisir terdiri dari para filosof moralis yang
menganggap bahwa pangkal perseteruan sosial politik dan keagamaan terdapat para
keragaman agama dan aliran dan eknik kesukuan, sehingga mereka berusaha untuk
mengilangkan dan mewadahi dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada
ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran ada.[4]
Dalam konteks demikian, dapat kami kemukakan
bahwa kelompok Ikhwan al Safa pada realitanya adalah organisasi yang juga
mempunyai tujuan-tujuan politis untuk melakukan transformasi sosial namun tidak
melalui cara radikal, revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola
pikir masyarakat luas. Namun dalam hal hal ini kami tidak membahas banyak, yang
kami fokuskan adalah pembahasan pemikiran Ikhwan al Safa dalam pendidikan.
1.
Konsep Pendidikan Ikhwan al Safa
Dalam sejarah Islam, kelompok ini tampil
eksklusif dalam gerakan reformatif pendidikannya, karena itu mereka adalah
ta'limiyyun (pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi
ini memandang pendidikan dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiric,
atau perpaduan antara pandangan yang bersifat intelektual dan factual. Mereka
memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari ala mini.
Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena
mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indra.[5]
Teori Ikhwan al Safa tentang pendidikan
didasarkan atas gagasan filsafat Yunani. Menurut Ikhwan al Safa bahwa setiap
anak lahir dengan membawa sejumlah bakat (potensi) yang perlu diaktualisasikan.
Oleh karena itu seorang pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik
dengan ide-ide dan keinginannya sendiri, pendidik hendaknya mengangkat potensi
laten yang terdapt dalam peserta didik.
Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia
adalah terletak pada jiwanya, sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh
karena itu kelompok ini membuat perumpamaan bagi orang yang beluk dididik
dengan ilmu aqidah, ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga.
Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas
yang tidak akan dihilangkan.
Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan
sedikitpun, proses perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa
secara dramatis dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula
dari jiwa universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses
imanasi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam
sekitarnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan itu dapat dicari
melalui dua cara, pertama dengan cara mempergunakan panca indra terhadap objek
alam semesta yang bersifat empirik, dan kedua dengan cara menyampaikan
informasi yang disampaikan oleh orang lain.[6]
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa
pada dasarnya semua ilmu itu harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian
tanpa usaha. Ilmu yang demikian dapat didengan dengan menggunakan panca indra.
Sesuatu yang terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya
telah ada dalam pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang
terjadi karena adanya kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan
panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan seperti
dihasilkan melalui penafsiran terhadap ayat An Nahl 16:78
والله اخرجكم من بطون امهاتكم لاتعلمون
شيأ وجعل لكم السمع والابصار والافئدة لعلكم تشكرون.
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya panca indra dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai sampai pada pengetahuan tentang
esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan inisiasi yaitu
bimbingan/otoritas ajaran agama.
Oleh karena itu Ikhwan al Safa menolak
pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang dapat mengetahui
segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan ilmu pengetahuan
seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran idealisme inilah yang
ditentang oleh Ikhwan al Safa.
Aliran Ikhwan al Safa lebih dekat dengan
aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai bahwa awal
pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam nyata. Begitu
juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan cara membiasakan
berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang dapat memperkuat daya
ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.
2.
Tujuan Pendidikan menurut Ikhwan al Safa
Sesuai dengan karakteristik dasar pemikiran
Ikhwan al Safa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya, mereka mengawali
pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin
direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka memberi porsi
lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Mereka mengkritisi
merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas
masyarakat.
Berangkat dari pemikiran tersebut Ikhwan al
Safa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam
dirinya sendiri, sebagaimana konsep dari beberapa kalangan. Menurut Ikhwan ilmu
harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan yakni pengenalan
diri. Akan tetapi keharusan mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan
akhir, melainkan sebagai sarana menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara
umum. Sebab tujuan akhir pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada
tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridlo Allah.
Menurut Ikhwan al Safa, pendidikan merupakan
suatu aktivitas yang berhubungan dengan kebijaksanaan. Hal itu terjadi karena
proses pendidikan akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk dapat melatih
keterampilan juga membekali dengan akhlak yang mulia, dan akhirnya dapat
mendekatkan diri pada Tuhan.
3.
Pendidik menurut Ikhwan al Safa
Ikhwan al Safa menempatkan pendidik (guru)
pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan, mereka
mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, keluhuran moral, ketulusan hati,
kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatic buta pada diri pendidik.
Mereka menganggap bahwa mendidik sama dengan menjalan fungsi Bapak kedua kerena
orang tua adalah pembentuk rupa fisik biologis, sedang guru adalah pembentuk
rupa mental rohani.
Oleh karena itu nilai seorang guru menurutnya
tergantung kepada caranya menyampaikan ilmu pengetahuan, untuk itu mereka
mensyaratkan agar guru memiliki syarat-syarat yang sesuai dengan sikap dan
pandangan politik Ikhwan al Safa serta sesuai dengan tujuan penyiaran dakwahnya
sebagaimana syarat yang telah diuraikan di atas.
Syarat-syarat yang demikian hanya muncul dari
orang-orang yang berada di organisasinya. Oleh karena itu mereka memiliki
aturan tentang seorang guru yang mereka istilahkan dengan nama Ashlab al
Numus. Mereka itu adalah muallim, ustadz dan muaddib. Guru Ashalab al Numus
adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa
universal adalah akal aktual dan akhirnya Allah lah sebagai guru dari segala
sesuatu.
4.
Keistemewaan Pemikiran Ikhwan al Safa dalam Etos
Keilmuan
Bahwa Ikhwan al Safa di dalam etos
keilmuannya tidak membatasi diri hanya pada satu sumber, melainkan dari
berbagai pandangan yang luas dan menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan.
Selain itu keistimewaan yang paling menonjol, bahwa mereka menolak fanatisme
dan berpegang pada kebebasan berfikir kritis untuk mencari kebenaran, sehingga
mereka mampu untuk mempengaruhi generasinya untuk memahami keragaman dan
perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan
dinameka keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual sosialnya
melalui sistem pendidikan yang efektif.
Kelompok ini mampu memerankan fungsi
strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam, dan memberikan pengaruh yang
positif serta kontribusi yang besar dalam memacu perkembangan pemikiran Islam,
yaitu berupa :
1)
Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk
kehidupan intelektual di abad ke 4 H. sehingga merekalah yang paling lantang
dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2)
Perintisan program penyusunan karya eksiklopedis
pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah mereka yang populer.
3)
Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui
program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
Analisis
Dari uraian di atas, nampak pandangan Ikhwan al Safa mengenai pendidikan
sangat dipengaruhi oleh pandangan kelompoknya dan terkesan eksklusif dan
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan spiritual belaka, kurang banyak
membicarakan mengenai proyeksi kehidupan di dunia. Namun demikian sebagai
sebuah organisasi ini nampak militant dan solid dalam menggalang misi dakwah
yang dianutnya. Sikap solid ini sebagai sebuah organisasi perlu dipejalari
secara seksama untuk dicarikan cara-cara yang perlu ditempuh dalam mencapai
tujuan.
Demikian juga tentang pendidikan dan tujuan-tujuannya yang bersifat
social dan intelektual, mungkin hal ini merupakan teori terpadu sistematik dan
berdasarkan analisa rasional. Mereka membingkai teori-teori tersebut dengan
kerangka moral utama berupa keharusan menguasai ilmu pengetahuan untuk sarana
peningkatan kualitas/kemuliaan diri, sehinga akhirnya dapat menjadikan tanggung
jawab individu terhadap diri sendiri, masyarakat dan Tuhannya.
Di dalam pemikiran Ikhwan al Safa, secara signifikan tercetus
“Rekonsiliasi antara definisi rasional, psikologis, moral, etik dan sosiologis
bagi keilmuan pendidikan. Namun demikian kelompok ini lebih mengedepankan
rasionalisasi religius yaitu berpikiran idealistis, sehingga memasukkan semua
disiplin keilmuan yang nyata dan terkait dengan kebutuhan langsung manusia baik
kebutuhan rohani maupun kebutuhan jasmani, yang tidak menjadi pemikiran Ibn
Khaldun.
Dari pemikiran-pemikiran Islam para tokoh baik al Ghazali, Ibn Khaldun
maupun Ikhwan al Safa terdapat kelebihan dan kekurangan, yang satu sama lain
saling melengkapi, maka kewajiban bagi kita adalah melihat pemikiran pendidikan
mereka dengan perspektif masa mereka hidup dan mengeksplorasi intelektualnya
hingga menghasilkan buah pemikiran sebaik mungkin dengan demikian kita akan
mampu memetik serangkaian prinsip utama pendidikan dalam beberapa karya tulis
mereka, lalu menatanya dalam konstruksi yang utuh sehingga membentuk teori
pendidikan yang betul-betul komprehensif.
[1] Ansiklopedia
[2] Ahmad Fuad Al Ahwani,
Al Tarbiyah fi Al Islam. Mesir, Dar Al Maarif Hl. 227
[3] Dr. H. Samsul Hizah,
MA. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta.
Ciputat Pers, 2002 Hal. 96
[4] Muhamad Jawad Ridlo, Tiga
Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; Jogjakarta.
PT. Tiara Wacana 2002 hal. 146
[5] Dr. H. Abuddin Nata,
MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta,
Logos Wacana Ilmu. hal. 182
[6] Dr. Syamsur Nizar, MA.
Op Cit. hal. 98-99
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.