Mencari
Akar Intelektualitas IMM[1][1]
Oleh :
Arif Nur Kholis[2][2]
e-mail:nurk@operamail.com
Sari
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah mengukir sebuah sejarah yang tidak mungkin
mengelak dari konsep utama pendiriannya sebagai gerakan intelektual. Dalam
realita kemusliman, ke-Indonesiaan, ke-Muhammadiyahannya IMM memiliki sebuah
dilema kesejarahan yang menjadikan dirinya seakan inferior dibanding organ
gerakan Mahasiwa lain di Indonesia. Intelektualitas sebagai keonsekuensi
ke-Islaman seseorang memerlukan pemetaan untuk membentuk jati diri yang lebih
mantap. Dialektika identitas diri dari konsep Ulil Albab,
Intelektual-Intelegensia, hingga Intelektual Organik perlu direlasikan dengan
idealisme dakwah Islam, profesionalisme kader dan pemihakan. Sehingga peran
kesejarahan IMM akan mantap khususnya dalam proses melakukan perkaderan demi
tersedianya kader Bangsa, Ummat dan Persyarikatan.
I.
Pendahuluan
Dalam
kurun waktu antara 1964 hingga 2003 ini banyak variasi pernyataan terhadap
peran yang diemban oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Ada yang
berkomentar positif dengan menyatakan IMM masih bersih dari kepentingan politik
praksis, masih memiliki prospek besar karena kekuatan tradisi Intelektual
Muhammadiyah yang menjadi sandaran IMM
atau juga ada yang berkomentar negatif dengan menganggap bahwa IMM masih
menunjukkan kemanjaannya kepada Muhammadiyah, “bentuk kader” IMM yang tidak
jelas atau komentar ketidakjelasan peran
IMM dalam sebuah peta Gerakan Mahasiswa.
Kadang pernyataan pernyataan di atas hanya menjadikan elit IMM terjebak
pada “kemanjaan yang lebih akut” atau malah berkutat pada apologi-apologi yang
kurang konstruktif. Padahal dalam realitas sejarah pergerakan Mahasiswa, para
kader IMM harus mengakui bila peran IMM jarang sekali disebut sebagai bagian
dari Gerakan Mahasiswa. Terlepas dari apologi para elit IMM dengan menyatakan
bahwa realita tersebut adalah hasil rekayasa “kelompok tertentu” atau
perkembangan terakhir IMM periode Piet Haidir yang menimbulkan kesan banyak bereaksi terhadap tanggapan pernyataan
terakhir di atas, ada persoalan yang mendasar pada IMM. Yaitu identitas IMM
masih cenderung menjadi sesuatu yang mistis, belum diterjemahkan dalam sebuah
rumusan ideologi (atau memang ini dihindari) atau secara maksimal diterjemahkan
dalam bentuk teori-teori perkaderan sebagai
proses pembangunan identitas ikatan dalam realitas objektif.
Dalam tataran
konseptual sebenarnya IMM memiliki sebuah konsep yang komprehensif. Trilogi
Iman-Ilmu-Amal yang kemudian juga berkaitan dengan Trilogi lahan garapan
Keagamaan-Kemasyarakatan-Kemahasiswaan dan juga trikompetensi kader Spiritualitas-Intelektualitas-Humanitas
memiliki konsep yang khas dibanding pola gerakan lain. Hal ini bisa dilihat
dalam struktur organisasi IMM yang ingin mengakomodasi semua realitas Mahasiswa
: Bidang IPTEK yang berorientasi pada Profesionalisme, Bidang Sosek yang
berorientasi pada Gerakan Kongkrit Pemihakan–Dakwah-Pemberdayaan dan Bidang
Khikmah yang berorientasi pada peran IMM
sebagai organ intelektual kritis-etis-politis.
Tulisan
ini adalah sebuah kajian pustaka dan refleksi aktifis tentang akar intelektualitas
IMM sebagai usaha mengungkap identitas IMM dari sudut pandang pola gerakan Kaum
Terpelajar bangsa Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan agar IMM, terutama dalam
perkaderannya, bisa mengetahui posisi dirinya dalam pola gerakan Kaum
Terpelajar Indonesia dan mengintegrasikan diri dalam gerakan
intelektual bangsa.
II.
Masyarakat
Intelektual Muslim
a. Definisi
Intelektual Muslim
IMM sering
disebut kader intelektual Muhammadiyah. Hal ini bisa dikarenakan gerakan
spesifik IMM yang berada di lingkungan Mahasiswa yang dianggap identik dengan
budaya Intelektual. Dari anggapan tersebut, kemudian timbul pertanyaan tentang
bagaimana identifikasi kader intelektual tersebut.
Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata Intekektual berkaitan dengan kata Intelek. Intelek
berarti istilah psikologi tentang daya
atau proses pikiran yang lebih tinggi yang berkenan dengan pengetahuan ; daya
akal budi; kecerdasan berfikir. Kata Intelek juga berkonotasi untuk menyebut
kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.
Sedangkan
kata intelektual berarti suatu sifat
cerdas, berakal, dan berfikiran jernih berdasarkan ilmupengetahuan. Kata
intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau
juga disebut kaum cendekiawan.
Dari asal
katanya, kata intelek berasal dari kosa kata latin: Intellectus yang
berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari
kemudian berarti kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini
berbeda dengan pengertian taraf kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih
menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan manusia dengan intelegensinya; hal
yang tergantung pada latihan dan pengelaman.
Dari
pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang
menitikbertkan pengenalan (kognisi) melalui intelek serta secara metafisik
memisahkannya dari pengetahuan indra serapan. Intelektualisme berkerabat dengan
rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba, penganut intelektualisme menyangkal
kebenaran pengetahuan indra serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai
kebenaran yang sungguh-sungguh. Di dalam filsafat modern, intelektualisme
menentang keberatsebelahan sensasionalisme yang hanya mengandalkan indra,
antara lain didukung oleh rene Descartes (1596-1650), kaum Cartesian, serta
sampai batas tertentu oleh spinizisme. Pada masa kini, bercampur dan tambah
dengan aliran agnitisme, intelektualisme dibela positivisme logikal.[3][3]
Dalam
pembahasan tentang identitas Intelektual IMM, maka tidak terlepas dari konteks Intelektual Islam. Bila dikaitkan dengan arti
harfiah intelektualime di atas, maka bisa dikatakan bahwa kata Intelektualime
mirip dengan budaya berfikir yang dibangun oleh kaum Mu’tazillah yan mewakili
rasionalisme Islam.
Mu’tazillah
sendiri adalah aliran rasionalisme dalam teologi Islam yang muncul sejak
permulaan abad ke-2 Hijriyah atau perempat abad pertama abad ke-8 Masehi.
Pemikiran rasionalismenya itu hanya terikat kepada Al Qur’an dan Hadist
Mutawir, atau minimal hadist yang diriwayatkan oleh 20 sanad. Pendiri aliran
ini Washil bin Atha’ dan pendukungnya antara lain Abul Huzail al Allaf, Ibrahim
an Nazzam, Muammar ibnu abbad, Muhammad al-Jubbai dan al Jahiz. Dalam paham
mereka, Al-Qur’an adalah mahluk dan diungkapkan dalam huruf atau suara yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada waktu, tempat dan bahasa tertentu.
Ayat-ayatnya yang menyebutkan tangan, wajah, mata Tuhan dan yang seperti itu hendaklah difahami secara
metaforis. Selain itu menurut mereka Tuhan hanya berbuat baik danmesti berbuat
demikian sebagai kewajiban-Nya untuk kepentingan manusia. Ia tidak bisa dilihat
dengan mata jasmani, bukan saja di dunia, juga diakhirat. Manusia dalam
pandangan mereka mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengetahui adanya Tuhan,
mengetahui baik dan buruk serta mengetahui dengan akalnya kewajiban untuk
bersyukur kepada Tuhan dan mengamalkan kebaikan. Manusia memiliki kemauan bebas
dan kebebasan bertindak: dan terhadap kebebasannya itu Tuhan akan mengadilinya
nanti di akhirat. Kejayaan aliran ini pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi kemudian
dilanjutkan dengan kemunduran pada abad-abad selanjutnya[4][4].
Aliran ini
oleh KH Azhar Basyir disebutkan mengalami kemunduran karena pelaksanaan amar
ma’ruf nahi munkar dimana yang disebut ma’ruf adalah yang sesuai dengan faham
mu’tazillah dan yang mungkar adalah yang berseberangan. Pelaksanaan amar ma’ruf
ini dinilai oelh KH Azhar Basyir terlalu
keras [5][5].
Dalam sejarah disebutkan adanya bentuk kekerasan politik yang dilakukan oleh
kholifah Al Ma’mun pada bani Abassiyah terhadap kaum yang berseberangan dengan
Al Ma’mun yang Mu’tazillah. Hal ini dimulai dari inisiatif Al Ma’mun yang
mengumumkan tentang pengertian Al Qur’an sebagai mahluk menjadi kebijakan resmi
negara. Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan tindakan
Mihnah atau Inkusisi pada 827 dan 833 Masehi. Setiap hakim agama yang menolak
tesis ini akan dipecat atau dipenjara. Kebijakan tersebut dirubah pada masa Al
Mutawakkil pada 847 M dengan mengubah total kebijakan negara. Pada masa itu
kebijakan malah berbalik dengan melakukan kebijakan represif kepada kaum
Mu’tazillah dan juga Syi’ah[6][6].
Dari tinjauan
sejarah kata Intelektual baik dalam konteks umum maupun dalam tarikh Islam di
atas, sebenarnya saat ini ada semacam tarik ulur yang kadang menyesatkan. Bila
yang disebut Intelektual kembali ke arti asal sebagai peran akal, fikiran
manusia maka dalam membangun pengertian intelektual tidak akan terlalu sulit
bila di bawa dalam konteks Islam apapun golongannya. Namun bila kemudian kata
Intelektual dibangun dengan melihat produknya (bukan proses atau landasan
normatifnya) atau dengan melihat sejarahnya (terutama kekerasan politiknya),
maka kata Intelektual sepertinya berseberangan dengan arus utama tradisi Islam
di Indonesia bahkan kadang dibawa ke urusan teologis (seperti cap kesesatan
Islam Liberal yang melahirkan kehalalan darah Ulil Absor Abdala).
Bila
didasarkan pada pengertian harfiah tentang intelek atau intelektual yang
berkaitan tentang akal fikiran atau mentalitas berdasarkan kemauan berfikir Al
Qur’an banyak membahas. Sebagai contoh tentang akibat orang-orang bodoh. Pada
Surat Al An’aam ayat 119[7][7]
dijelaskan tentang orang-orang yang melampaui batas kerena tidak
berpengetahuan. Atau surat Al An’aam ayat 144[8][8]
tentang relasi ketiadaan pengetahuan dengan kezaliman. Hal ini sejalan dengan
pengakuan keberadaan akal seperti pada Az Zumar ayat 9[9][9]
dan kedudukan bagi orang yang berilmu seperti pada
Dari istilah
intelektual muslim (Islam) Dawam Raharjo
mengartikan bahwa ke-intelektualan adalah ekspresi dari ke-Islaman. Atau yang
lebih jelas lagi, ke-Intelektualan adalah konsekuensi dari ke-Islaman. Artinya,
bahwa sikap, budaya, kompetensi (dan status) intelektual seorang muslim adalah
ekspresi dan konsekuensi dari deklarasi
ke-Islaman muslim tersebut. Sehingga
tampak secara tegas perbedaan
antara orang Islam yang intelektual dan non-Islam yang intelektual.
Ke-intelektualan seorang muslim adalah dikarenakan ke-Islamannya, sedangkan
ke-intelektualan non muslim tidak berdasarkan ke-Islaman. Pengertian di atas hanya berdasarkan sebab
terjadinya suatu ke-intelektualan, sedangkan hasil kongkrit (materiil) dari
suatu ke-intelektualan non-muslim bisa saja lebih canggih atau lebih primitif.
Jadi pengertian di atas tidak bisa dijadikan untuk berdebat tentang kualitas
materiil sebuah hasil karya intelektual.
Dari konsep intelektual Islam, terlebih
dahulu perlu dikaji konsep Ulil Albab.
Istilah Ulil Albab di dalam Al Qur’an terdapat pada beberapa
ayat. Salah satu ayat tertera pada Ayat ke 190-191 Surat Al Ali Imron.
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ(190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ(191)
“Sesungguhnya,
dalam (proses)
penciptaan langit dan bumi, dan (proses) pergantian malam dan siang,
adalah tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi ulil albab (orang-orang
yang berfikir [menggunakan intelek mereka]). Yaitu orang-orang yang berzikir
(berlatih diri dalam mencapai tingkat kesadaran akan kekuasaan Allah)
dalam keadaan berdiri, duduk, dan dalam keadaan terlentang, dan senantiasa
berfikir tentang (proses) penciptaan langit dan bumi, (sehingga
mereka menyatakan) wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini
dalam keadaan sia-sia. Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka”
(QS 3: 190-191)[10][10]
Dalam ayat Ali Imron 190-191,
dinyatakan adanya aspek hasil pengamatan realitas (tanda-tanda alam), dan aspek
hasil interpretasi intrinsik (proses) sebagai hasil proses fikir dan zikir. Di
dalam konsep ini, kata ulil albab yang dipakai oleh AM Saefuddin sebagai
padanan arti Intelektual berarti ada kesinambungan antara kemampuan berfikir,
merenung dan membangun teori ilmiah dari realitas alam yang empiris dengan
metode induktif dan deduktifnya namun sekaligus mampu mempertajam
analisisnya dengan mengasah hati dan
rasa melalui berzikir. Dalam uraian ini AM Saefuddin berusaha berbicara kepada khalayak awam yang
kadang (dengan justifikasi ke-awaman-nya) orang menganggap kerja intelektual
adalah hanya kerja berfikir, sehingga ada konsep “netralitas ilmu” yang
menganggap konsep kebenaran adalah monopoli logika.[11][11]
Oleh beberapa penggagas Ilmu Islami seperti AM Saefuddin, Jujun S.
Suriasumantri, atau yang terbaru Dr. Mulyadi Kertanegara menolak teori
kebenaran tersebut dengan menyatakan
bahwa harus ada fakultas intuisi selain logika
yang berfungsi sebagai pengawal etik logika. Disinilah mungkin peran agama yang kemudian terkenal dalam
ungkapan Albert Einstein bahwa “Ilmu Tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”
[12][12]
.
Dalam
perkembangan kaitan antara fikir dan zikir ini Taufik Pasiak[13][13]
menyatakan bahwa kadang kita salah mengartikan fikir sebagai kerja otak dan
zikir sebagai kerja hati. Karena sesungguhnya setelah adanya perkembangan dalam
ilmu kedokteran dalam bidang neurologi kedua kerja tersebut merupakan kerja
otak dimana didalam organ otak ada organ yang berfungsi untuk melakukan tugas
berlogika (untuk kerja fikir) dan ada organ yang berfungsi untuk intuisi (kerja
zikir). Bahkan Taufiq Pasiak menyatakan bahwa sesungguhnya terjemahan kata qolb
(qolbu) adalah menunjuk organ otak juga. Perasaan di dada itu adalah karena
aliran darah yang mengalir tidak teratur di jantung, sehingga kadang orang
menyebut bahwa qolb (terjemahan kata hati dari kata inggris heart
bukan liver) itu berada di dada. Jadi otak bukanlah hanya fikiran karena
otak tempat proses berfikir dan pengendali perasaan. Untuk pembahasan
selanjutnya kata Ulil Albab dianggap sama dengan kata Intelektual
(Islam).
Dalam
pembahasan tentang Ulil Albab, KH A. Azhar Basyir menyatakan bahwa ulul
albab adalah orang yang mengembangkan ilmu berwawasan Islam dengan seluruh potensi yang ada pada
dirinya (keistimewaan akal, argumen pemikiran)[14][14].
Hal ini bisa terkait dengan penjelasan Dawam Raharjo[15][15]
yang menegaskan bahwa ciri Ulil Albab ada tiga dimensi. Dimensi pertama
dimensi ontologis, dimana seorang ulil albab adalah manusia yang telah menarik
jarak dari dan semua yang ada, termasuk dirinya sendiri, masyarakat dan
sejarah, serta menjadikannya menjadi objek pengamatan yang rasional. Kedua,
dimensi fungsional, yang bertolak dari pengertian bahwa alam semesta diciptakan
oleh Allah dengan tujuan dan merupakan suatu yang haq dan bukannya batil atau
kacau, melainkan berfungsi dalam kehidupan manusia. Dan ketiga, dimensi
aksiologis atau etis, yang melihat
sesuatu dari segi buruk atau baik, benar atau salah, agar kehidupan
manusia dapat berkembang lebih maju sejalan dengan harkat manusia sebagai
mahluk yang dimuliakan Allah.
Namun kemudian Dawam Raharjo membuat
perbedaan definisi antara golongan Intelektual dan golongan Intelegensia untuk
pengertian secara umum (bukan hanya untuk muslim). Oleh Dawam Raharjo, keduanya
disebut sebagai Golongan terpelajar yang oleh dunia sosiologi disebut sebagai
golongan kelas baru.
Golongan intelektual
didefinisikan sebagai:
“golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan
(termasuk drops-outs), yang peranannya tidak mesti berkaitan dengan ilmu
yang dipelajari atau profesi yang dikuasai. Dan yang lebih penting mereka
berperan sebagai kritikus sosial, bersifat emansipatoris dan liberatif, berpola
pikir yang hermeneutis dan kerap kali bersikap politis. Mereka adalah golongan
yang merasa dirinya bebas.”
Golongan Intelegensia[16][16]
didefinisikan sebagai :
“golongan terpelajar yang
kepentingan utamanya adalah penggunaan disiplin ilmunya secara profesional, dan
karena itu peran yang mereka jalankan berkaitan erat dengan ilmu yang mereka
pelajari di sekolah atau profesi yang mereka kuasai. Mereka adalah orang yang
setia kepada ilmu yang mereka pelajari, walaupun kerapkali dapat bergeser atau
melebar. Mereka ini umumnya tidak berkeberatan disebut sebagai kurang atau
tidak bebas.
Dalam pengertian lain, golongan
intelektual disebut sebagai golongan yang tidak hanya berkutat pada ilmu
profesionalnya, namun memiliki peran sosial terutama sebagai intelektual bebas
yang bisa memerankan diri sebagai
kritikus masyarakat atau pemerintah[17][17].
Biasanya dinisbatkan dengan peran Ir. Sukarno yang Insinyur Teknik Sipil dan
kemudian menjadi tokoh pergerakan nasional, Cokroaminoto yang insinyur teknik
mesin yang menjadi ketua Sarekat Islam, atau dr. Sutomo, dr. Cipto
Mangunkusumo, dr. Wahiddin Sudirohusodo yang dokter namun juga menjadi tokoh
pergerakan nasional[18][18].
Mungkin ini sejalan dengan pengertian Intelektual Organik versi Antonio Gramsci
yang membedakan peran Intelektual biasa dan intelektual organik menurut
perannya, yaitu yang menyuarakan kepentingan kelompok dan peduli pada urusan
masyarakat.[19][19]
Dalam hal
mentalitas kader Intelektual, Ahmad Fuad Fanani menyatakan bahwa
intelektualitas bukanlah logika yang bersifat pasti, searah dan hanya
ditafsirkan secara tunggal. Intelektualitas adalah kondisi seorang kader yang
mampu menjalankan suatu bidang yang dikuasainya secara tekun dan serius, untuk
selanjutnya bersedia juga mentransformasikan pengetahuannya pada kader lain. Kemudian seorang kader hendaknya juga
memahami bidang-bidang lain dengan cara bersedia berdiskusi dengan kader lain.
Intelektualitas harus dipadukan dengan sikap seorang kader. Intelektualitas
bukanlah sesuatu yang digunakan untuk meremehkan dan memperkecil kader lain.
Seorang intelektual dalah seorang kader yang bisa membedakan baik dan buruk,
benar dan salah, pantas dan norak serta
kritis dan pasrah.[20][20]
Menurut
Edward Said dan Ali Syari’ati, untuk mengukur apakah seseorang itu masuk
kategori intelektual atau bukan dengan mudah dapat dilihat pada peran dan
kesadarannya untuk menyampaikan sebuah kebenaran. [21][21]
Tujuan Intelektualitas menurut Edward Said adalah meningkatkan kebebasandan
pengetahuan manusia. Ia hendaknya tidak menerima sebuah kebenaran sebagai
sebuah kepastian yang tidak perlu dikritisi dan ditafsir ulang.
Kembali dalam
konteks Intelektual muslim, ada pendapat yang kurang lebih sama dalam menyoroti
peran Intelektual Muslim oleh Muslim
Abdurrohman dengan Istilah Ulama Organik[22][22].
Sorotan sejenis juga dilontarkan oleh Kuntowijoyo[23][23].
Kuntowijoyo menyatakan bahwa Intelektual Islam (Cendekiawan) harus menjalani
misi profetik (kenabian) seorang Muhammad SAW yang walaupun telah mi’raj
beliau masih mau untuk turun ke bumi, memikirkan ummatnya. Dalam pengertian
lain sebuah pencapaian derajat kemanusiaan dalam bentuk karunia menghadap
“wajah” Allah, seorang Muhammad SAW masih memikirkan kebobrokan ummatnya dan
turun ke bumi melakukan revolusi dalam realita keanusiaan. Sehingga seorang
intelektual setelah mencapai derajat ulil albab yang seakan “tahu banyak
hal” bertanggungjawab merealisasikan
konsep-konsep yang dia tahu dalam realita kemanusiaan. Disinilah kemudian
timbul persoalan tentang bentuk pemihakan seperti apa yang harus dilakukan seorang
Cendekiwan atau Intelektual (bukan Intelegensia) atau lebih khusus (dan lebih
pasti) oleh seorang Ulil Albab ?
Kuntowijoyo[24][24]
menyatakan bersama penegakkan tauhid harus ada pemihakan terhadap dua golongan,
yaitu mustadh’afien dan dhu’afa/masakin. Dalam konsepsi tersebut mustadh’afien
adalah orang lemah (An Nisa’ ayat 75)[25][25]
atau orang yang tertindas (teraniaya) dari sisi sosial-politik (struktural).
Sedangkan konsep dhu’afa/masakin adalah konsep orang lemah yang
tertindas dari sisi ekonomi. Pada uraiannya Kuntowijoyo membedakan konsep
pemihakan “Islami” ini dengan konsep
pemihakan Marxis. Dimana seseorang yang tertindas dalam konsep Islam bukanlah
harus orang yang miskin, namun orang kaya bisa menjadi orang yang teraniaya
bila hartanya dirampok, misalnya. Disinilah Islam tidak mengajarkan model Robin
Hood untuk melakukan pemerataan.
b. Keadaan Obyektif
Intelektual Muslim
Status
keintelektualan bukanlah berdasarkan klaim pribadi atau status kesarjanaan
seseorang. Dalam sejarah Indonesia, ada berbagai variasi golongan Intelektual
memperoleh status sebagai intelektual muslim oleh masyarakat . Oleh Dawam
Raharjo disebutkan bahwa ada empat dimensi kemusliman seorang cendekiawan
(intelektual) muslim. Dimensi tersebut adalah : dimensi keimanan atau aqidah, dimensi ibadah
khusus, dimensi amal sholih dan dimensi “bergabung” dalam pergerakan Islam.
Dimensi
keimanan seringkali diidentifikasikan dalam status kemuslimannya. Dimensi ini
dalam realita sosial biasanya sangat relatif dan personal. Biasanya dinyatakan
dengan keberanian seorang intelektual menyatakan kepada khalayak bahwa dirinya Muslim. Disini kita tidak
melihat apakah dia ta’at dalam beribadah, aktif beramal sholih atau ikut dalam
sebuah gerakan Islam.
Dimensi
ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji) merupakan dimensi yang menganggap
bahwa sudah semestinya seorang intelektual yang menlaksanakannya dianggap
sebagai bagian dari intelektual muslim.
Demikian pula dengan dimensi amal sholih, masyarakat menganggap seorang
intelektual yang beramal shalih,
membangun masjid, menyantuni fakir miskin dan sebagainya juga termasuk
intelektual muslim.
Dimensi
terakhir adalah dimensi “bergabung” dalam pergerakan Islam. Dimensi ini seakan
menjadi sebuah legitimasi yang paling ampuh untuk melegitimasi seorang
Intelektual masuk dalam kalangan Intelektual Muslim. Hal ini karena kekuatan
organisasi Islam (baik sosial maupun politk) yang seakan bisa merubah baju
seseorang dengan sangat efektif dari seorang intelektual muslim non-afiliasi
menjadi intelektual Muhammadiyah, NU, Persis, PKS, PPP, dan sebagainya. Sebuah
fenomena menarik ketika Amin Ra’is menjadi Ketua Umum Muhammadiyah yang menarik
sejumlah intelektual kampus masuk dalam jajaran Pimpinan, Majelis dan Lembaga.
Meraka sering disebut golongan “mu’alaf” dalam Muhammadiyah.
Sangat disayangkan
memang bila kondisi di atas menjadi arus utama intelektual Islam. Idealisme
bahwa ke-Intelektualan adalah ekspresi dan konsekuensi dari ke-Islaman memiliki
peluang “bias” lebih besar. Disinilah kemudian muncul tanggapan miring dari
beberapa golongan ummat, yang tidak sepenuhnya benar, dimana mereka seringkali
menolak hasil pemikiran seorang Intelektual Muslim hanya karena status
kemusliman-pemikirannya yang dianggap
“tidak jelas”[26][26].
Tentunya kita
tidak bisa menjustifikasi seorang “mu’alaf” intelektual muslim tidak berhak
menyatakan pikirannya mewakili komunitas
intelektual muslim. Karena dalam sejarah Islampun kita mengenal seorang Ummar bin Kahttab yang seorang Mu’alaf, namun
sering menjadi rujukan pendapat dalam komunitas muslim Madinah. Atau sejarah
Khalid bin Wallid yang sebelumnya menjadi musuh utama Islam, langsung memegang
tampuk pimpinan perang ummat Islam setelah menjadi muslim. Sehingga yang perlu
terus dikembangkan adalah budaya tabayun antar sesama intelektual muslim
(terlepas dari dimensi mana dia berasal) selain mengusahakan sebuah sistem
pendidikan Islam dan perkaderan Intelektual Muslim yang ideal yang memungkinkan
lahirnya intelektual-intelektual muslim sebagai
konsekuensi dari kemuslimannya.
Sebenarnya
dalam realita Intelektual Muslim dari berbagai dimensi tersebut memiliki kadar keagamaan dari berbagai macam
latar belakang selain pendidikan formal agama seperti pesantren. Oleh Dawam
raharjo disebutkan empat sumber
pengembangan kadar kemusliman mereka. Yaitu :
1.
dasar
pendidikan agama dari keluarga
2.
belajar
agama secara otodidak dari buku-buku
3.
pendidikan
non-formal dari pengajian-pengajian
4.
proses
sosialisi pada Pergerakan Islam
Bila dilihat
dari realita di atas, maka kemungkinan perkembangan Intelektual Islam akan
semakin pesat dan meluas. Disinilah yang kemudian membutuhkan sebuah upaya
pembangunan paradigma bersama agar kemudian bisa membangun komunitas
Intelektual Muslim yang efektif bagi perkembangan kualitas dunia Intelektual
Islam.
Dilihat dari sisi peranannya dalam
masyarakat, golongan intelektual ini kadang identik dengan golongan pemimpin
ummat. Hal ini karena definisi pemimpin dahulu hanya sebagai pemimpin politik.
Sehingga seseorang akan mudah menjadi pemimpin bila lebih menguasai akses
informasi dibanding rakyat kebanyakan, terutama informasi dan pemikiran dalam
bidang politik. Dan hal tersebut hanya dikuasai golongan intelektual. Namun
dalam perkembangan jaman definisi pemimpin tersebut lambat laun mengalami
pergeseran.
Hal ini terjadi sejalan dengan perubahan
struktur sosial masyarakat dimana dalam masa feodal dahulu yang berkuasa adalah
para penguasa tanah, kemudian pada masa kapitalis yang berkuasa adalah para pemilik
modal sedangkan pada masa teknokrasi yang berperan adalah yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, namun karena luasnya cakupan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena perlunya spesialisasi dan profesionalisasi , maka pemimpin
mengalami perkembangan makna.[27][27]
Dalam konteks kepemimpinan ini,
Kuntowijoya melihat ada sebuah kecenderungan baru dalam kepemimpinan.
Kecenderungan yang pertama adalah
adanya diversifikasi kepemimpinan. Kalau dahulu kita memerlukan
kepemimpinan politik dan agama dalam arti sempit, maka sekarang kita perlu
memperluas horison pemikiran kita di bidang ilmu, teknik, ekonomi, budaya dan
lain-lain.
Kecenderungan yang kedua, disentralisasi.
Perluasan geografis. Kalau dahulu hanya dikenal pemimpin nasional, sekarang
secara geografis harus menyebar kemana-mana. Ini bisa terjadi karena kemajuan
pendidikan yang merata pula. Jadi tidak tersentralisasi di Jakarta atau dijawa
saja.
Kecenderungan yang ketiga
adala adanya proliferasi. Contohnya dahulu pemimpin ini menumpuk pada
politik. Sekarang menyebar kemana-mana.
Lebih
lanujut Kuntowijoyo menyatakan di masa
depan dalam era industri kita membutuhkan pemimpin spesialis-profesional dan
memiliki dedikasi tinggi serta ide (bukan ideologi). Tidak seperti dahulu yang
mendahulukan ideologinya, sekarang harus dibalik. Ide dikedepankan. Ideologinya
terserah pada proses berikutnya. Kita lemparkan ide-ide kepasaran, dan biarkan
ide diambil oleh orang Islam atau siapapun. Kita sekarang berada di dalam dunia
terbuka, maka pemimpin Islam yang dibutuhkan adalah pemimpin Islam yang juga
diterima oelh ummat lain. Lebih lanjut disebutkan bahwa saat ini tidak perlu
kepemimpinan tunggal. Yang diperlukan adalah banyak pemimpin untuk menangani
banyak masalah.
Dalam
pandangan terakhir ini Kuntowijoyo memiliki dasar berupa pengamatan dia yang
menganggap bahwa sejarah ummat Islam di Indonesia telah melewati fase mistis
dan fase ideologis yang sekarang memerlukan fase ide atau ilmu. Dimana Islam
normatif yang berupa teks harus diturunkan dalam bentuk teologis kemudian
filosofis teori dan ilmu untuk diwujudkan menjadi realita. Dengan demikian
Islam bisa diterjemahkan melalui berbagai disipil ilmu yang memiliki
konsentrasi berbeda. Bahkan kemudian bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin dalam
bidang yang berbeda-beda.
Dari pandangan tersebut, maka
realita kehidupan ideal intelektual muslim menjadi lebih jelas. Dia befikir dalam zikir, tetap menekuni dunia
profesinya namun tidak melepaskan diri dari permasalahan etis-sosial. Dia
memiliki keimanan yang terintegrasi dengan ilmunya, dan dengan bidang
profesinya dia bisa mengusahakan sebuah pemihakan terhadap keadilan.
Oleh Dawam Raharjo dirumuskan sebuah
alternatif tugas golongan intelektual bagi bangsa ini:
1.
memperluas
pendidikan dan pencerdasan kehidupan bangsa
2. menumbuhkan idealisme
di kalangan calon intelegensia, untuk mengabdi kepada sektor masyarakat untuk
memperkuat civil society dan mengimbangi birokrasi
3. memperluas
bentuk-bentuk pengabdian profesionalisme.
III. Komunitas Intelektual Muda Bernama “ Gerakan Mahasiswa”
Mahasiswa
dalam negeri yang bernama Indonesia sesungguhnya menempati posisi yang elit.
Dimana sejak bangsa ini mengenal sekolahan formal, status mahasiswa hanya bisa
dirasakan oleh segolongan anak bangsa yang mampu membiayai diri untuk studi di
Perguruan Tinggi. Sehingga tidak salah kiranya bila mahasiswa menempati posisi
istimewa dalam sejarah Republik ini.
Para ahli
sering menyebutkan bahwa sesungguhnya mahasiswa adalah bagian dari komunitas
intelektual bangsa ini. Dalam konteks status keilmuan, banyak pakar yang tidak sepakat menyatakan
bahwa mahasiswa adalah calon ilmuan, karena status ilmuan tidak terputus oleh
status kesarjanaan. Para pakar tersebut menyebutkan mahasiswa sebagai ilmuan
muda. Inilah mungkin legitimasi kedua status elit mahasiswa dalam republik ini.
Dalam
komuitas manusia muda terpelajar yang berstatus mahasiswa tersebut seringkali
ada kelompok kecil yang secara unik memainkan perannya berbeda dari mahasiswa
kebanyakan. Mereka yang berasal dari berbagai disipiln ilmu seringkali tergabung
dalam kelompok-kelompok diskusi tentang masalah sosial dan politik negeri ini,
kadang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang sukarela melakukan
pemberdayaan masyarakat, atau seringkali secara radikal melakukan demonstrasi
menentang sesuatu. Kadang menentang kebijakan pemerintah hingga konon karena
merekalah presiden-persiden di negeri ini harus turun tahta. Kadang
memprotes kebijakan rektorat yang pada
kasus ini jarang yang menghasilkan “kemenangan” (khususnya di Perguruan Tinggi
Negeri). Bahkan seringkali mereka menentang
‘sesuatu’ yang mungkin mereka sendiri belum pernah ketemu, yaitu
menentang lembaga Internasional, aksi keprihatinan akan adanya korban perang
dan sebagainya. Lazimnya kelompok kecil, yang kadang bisa jadi besar itu,
disebut sebagai Gerakan Mahasiswa.
Jack Newfield pada tahun 1960-an
mengamati fenomena gerakan mahasiswa di Amerika Serikat yang bergolak merespon
keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Dia menyebut kelompok ini
sebagai a propetic minority. Sebuah kelompok minoritas dari suatu
bangsa, bahkan para aktifis yang disebut sebagai radikal baru tersebut adalah
populasi yang minoritas dikalangan mahasiswa sendiri..
Selanjutnya dalam konteks Indonesia
Dawam Raharjo menerangkan bahwa misi profetik tersebut adalah karena mereka
melihat jauh kedepan dan memikirkan apa yang tidak atau belum difikirkan
masyarakat umum. Dalam visi mereka tampak ada kesalahan mendasar pada
masyarakat. Dan mereka menginginkan perubahan mendasar. Mereka memikirkan suatu
proses transformasi. Sehingga peran mereka bagaikan para nabi dan bukan pendeta
atau kyai yang sudah sibuk dengan rutinitas. Mereka adalah “nabi” kolektif yang
pada mulanya sendirian saja memikirkan kebobrokan masyarakat, sistem politik
atau ekonomi. Tetapi karena bersuara sendirian itulah, maka gaungnya begitu
keras.
Dari pengertian diatas, maka
ternyata sebuah perbedaan yang ada pada dunia kaum terpelajar terjadi juga
dalam wilayah yang lebih sempit, yaitu wilayah mahasiswa. Dimana di dalam
wilayah mahasiswa tetap ada golongan yang cukup menjadi intelegensia dan ada
yang memilih dirinya menjadi bagian dari golonga intelektual. Dimana kita tahu, golongan intelegensia
adalah golongan yang mencukupkan diri untuk menjadi ilmuan, teknisi atau dalam
istilah Wijoyo Nitisastro sebagai “sarjana tukang” dan sebagian yang lain
mencoba menjadi manusia-manusia alternatif yang tidak biasa, walaupun kadang
beresiko berhadapan dengan mainstream
dan sebagaimana seorang nabi, baru diakui ‘benar’ dan orang-orang
berbondong-bondong mengamininya ketika sebuah revolusi besar telah berhasil.
Kita tahu dalam sejarah Indonesia, arus gerakan mahasiswa baru diakui menjadi
gerakan massa setelah keberhasilan mereka membelalakkan mata bangsa tentang
sebuah kebusukan dan menyuport keberanian untuk berkata “lawan” setelah
perjuangan panjang yang kadang dianggap konyol, sok tahu, sok suci dan
sebagainya .
Dalam konteks Gerakan Mahasiswa
Islam, sebenarnya ada sedikit spesifikasi wilayah profetik yang berbeda dari
Gerakan Mahasiswa pada umumnya selain juga menanggapi isu yang sama dengan
gerakan mahasiswa pada umumnya Sebagaimana kalangan Intelektual Islam yang
lebih luas, obyek kajian gerakan mahasiswa Islam biasanya adalah :
- pembaharuan pemikiran Islam,
- pendidikan Islam yang sedang mencari identitas,
- hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan,
- persoalan-persoalan modernisasi dan transformasi masyarakat pada umumnya.
Kadangkala,
organisasi mahasiswa yang menjadi bagian dari gerakan mahasiswa Islam ini
memiliki sebuah peran sebagai agen dakwah Islam dalam kalangan mahasiswa. Atau
membahasakan Islam kepada kalangan Intelektual muda kampus karena memang ada
sebuah kesulitan yang cukup mendasar bila dilakukan oleh mubaligh-mubaligh
non-kampus. Pada konteks inilah kemudian seorang mahasiswa yang menjadi bagian
dari gerakan mahasiswa Islam seakan harus memiliki tiga kompetensi sekaligus :
1.
kompetensi
sesuai bidang ilmunya sebagai konsekuensi seorang mahasiswa sekaligus investasi
masadepan ummat Islam dalam era teknokrasi.
2.
kompetensi
ke-Islaman (dari normatif hingga pemikiran) sebagai referensi pokok gerakan
sekaligus alat dakwah, khususnya dakwah dalam masing-masing kompetensi baik
ketika berada di alam kampus maupun
pasca-kampus.
3.
kompetensi
etis-sosial (politik) sebagai alat baca (dan beraksi) terhadap realita sosial
yang menjadi obyek pemihakan.
Pada sisi
inilah peran “lebih” gerakan mahasiswa Islam dibanding gerakan mahasiswa lain.
Pertama karena cakupannya lebih “rumit”, dan peran kedua adalah lebih njlimet
karena harus bisa membahasakan dalam
bahasa universal untuk mengintegrasikan diri dalam sebuah gerakan mahsiswa yang
lebih universal.
Namun, yang juga menjadi kenyataan
bagi mahasiswa-mahasiswa yang menjadi bagian dari a propetic minority
tersebut, bahwa mereka tetaplah menempati sebuah status sementara. Dalam
kenyataan seorang mahasiswa hanya memiliki “jatah” 4-5 tahun studi yang
otomatis harus menyiapkan transformasi diri kepada tahap selanjutnya setelah
mahasiswa. Disinilah yang kemudian dibutuhkan wawasan dunia Intelektual pasca
kampus yang dalam konteks seorang muslim, peran selanjutnya seorang ulil
albab harus dipersiapkan. Apalagi dengan pandangan perlunya perkaderan
intelektual muslim dari rahim ummat Islam sendiri, maka transformasi para
mahasiswa ini juga menjadi tanggungjawab organ gerakan Islam sebagai penampung
hasil kaderisasi dalam organisasi mahasiswa Islam. Apalagi bagi organisasi
seperti HMI, atau KAMMI yang menyatakan diri mereka independen dari organisasi
Islam lainnya. Fenomena ini juga yang kadang menjadi bumerang bagi organisasi
seperti Muhammadiyah, dimana kadang terjadi gesekan antara kader buatan
sendiri, seperti alumni IMM, dan kader hasil transformasi dari HMI dan KAMMI
yang juga diharapkan masuk menjadi
bagian dari Muhammadiyah. Tentunya butuh sebuah kearifan dan pengalaman
pengelolaan konflik yang bijak dalam mengatasinya. Apalagi fenomena organisasi
seperti Muhammadiyah yang mengedepankan keterbukaan dan sistem kerucut tebalik.
Jumlah kader menggelembung justru ditingkatan atas.
Secara umum
Dawam Raharjo memberikan pola alternatif transformasi aktifis gerakan mahsiswa
pasca kelulusannya sebagai mahasiswa untuk:
1. Memasuki
birokrasi pemerintahan, dengan tetap
memainkan peran profetiknya untuk mengubah birokrasi agar lebih human dan
berorientasi pada rakyat kecil.
2. terjun ke
tekno struktur pada suatu koorperasi yang besar dan menjanjikan posisi manager
dan profesional dengan tetap memainkan peran profetiknya. Untuk melakukan
revolusi manajerial, pengambilan tampuk pimpinan dari pemilik modal, dan
mengembangkan koorperasi yang memiliki tanggungjawab sosial
3. terjun pada
masyarakat, menjadi pemimpin masyarakat, wirausahawan yang inovatif,
pengembangan kepemimpinan yang produktif serta menciptakan lapangan kerja baru.
III. Membangun Intelektualitas kader IMM
Bila
melihat IMM, baik dari segi normatif (Anggaran Dasar), sistem perkaderan (SPI) hingga struktur
organisasi, IMM bisa dikatakan sebagai sebuah organisasi yang memiliki semua
yang diidealkan sebuah organisasi Mahasiswa Islam. IMM menyatakan dirinya
sebagai Gerakan Mahasiswa Islam (AD Pasal1), IMM menyatakan dirinya bergerak
pada bidang Keagamaan, Kemahasiswaan, Kemasyarakatan. IMM memberi bekal kepada
kadernya tentang Risalah Islam, Dakwah Islam, Filsafat Ilmu, Sosiologi,
Politik, Wirausaha, dan Manajemen Organisasi (SP IMM). IMM melalui struktur
organisasinya memberi ruang gerak kepada anggotanya untuk mendalami Islam
sekaligus menjalankan organisasi, menguasai spesialisasi kompetensi
profesionalnya (Bid. IPTEK), mempunyai keberfihakan dan pemberdayaan
masyarakat-Dakwah (Bid. Sosek) serta memiliki kekuatan pemikiran-wacana dan
analisis sosial-politik (bid. Hikmah).
Bila ditilik lebih lanjut, hal diatas
itulah yang menjadi konsep khas IMM dibandingkan organisasi Mahasiswa lain di
Indonesia. IMM mendambakan sebuah organisasi komprehensif yang bisa maksimal
mengamalkan amanah kemahasiswaannya.
Namun
ternyata, impian diatas juga yang menjadi sebuah kendala bagi IMM. Kader IMM
kadang malah silau dengan kehebatan konsep organisasi lain, padahal tentunya
IMM memiliki standar keberhasilan sendiri. Kader IMM menjadi terpaku untuk
mencari pengakuan dari organisasi lain, padahal bila para kader itu tahu konsep
IMM, tentunya seorang kader segera berusaha mengimplementasikan konsep tersebut
dalam tataran praksis.
Dalam
rangka membangun idealisme intelektualisme kader, hal yang utama menjadi
perhatian kader adalah pengertian IMM sebagai organisasi kader intelektual yang
berarti dalam segala kegiatannya merupakan sebuah proses perkaderan
intelektual. Kemudian dilanjutkan dengan menterjemahkan idealisme ikatan dalam
bahasa populer agar kader memahami bahwa untuk menilai IMM tidak memerlukan
cara baca versi IRM atau PII atau cara baca versi HMI, PMII atau KAMMI. IMM
memiliki cara baca sendiri berdasarkan spesifikasi ikatan yang memang berbeda
secara mendasar dibanding organisasi-organisasi lain. Pekerjaan menterjemahkan
idealisme ikatan ini bisa dinisbatkan pada pandangan Kuntowijoyo
tentang era mistis, ideologis dan ilmu. Saat ini IMM membutuhkan sebuah turunan
idealisme IMM bukan dalam bentuk normatif saja, namun harus diturunkan dalam
bentuk filosofis, yang akan menjadi teori-teori gerakan dan menghasilkan ide-ide
gerakan. Pada proses ini IMM harus berani membuka diri terhadap metode-metode
yang berkembang untuk menerjemahkan idealisme IMM. Dan pada kondisi inipula
kearifan organisasi dibutuhkan untuk mengelola berbagai perbedaan cara baca
dari berbagai kalangan.
Langkah
selanjutnya adalah berusaha mengimplementasikan dalam realitas kehidupan
ikatan. Dalam realita, bila semua bidang dalam IMM bisa secara maksimal
berjalan, hal ini bisa diartikan bahwa proses pertama tadi bisa berjalan dengan
maksimal. Bila setiap bidang bisa diterjemahkan dalam bentuk gerakan-gerakan
taktis, berarti setiap kader telah menyadari tafsir dari kerja perbidang
semaksimal mungkin. Jadi sebelum beranjak kepada inovasi gerakan seperti
membentuk sekolah pelopor[28][28]
atau lembaga-lembaga tambahan, terlebih dahulu IMM harus memaksimalkan
idealismenya dalam maksimalisasi tafsir dan kerja perbidang. Dalam pengertian
ini, memposisikan tafsir identitas dan operasional ikatan dengan patokan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan GBHO sebagai bentuk penghormatan
terhadap konsensus. Inilah perbedaan antara kreatifitas atau kearifan lokal
dengan penghormatan terhadap hasil musyawarah (konsensus). Bila hal-hal pokok
hasil konsensus sebuah lembaga musyawarah yang lebih tinggi dilanggar, berarti
ini melanggar prinsip musyawarah.
Upaya
perkaderan IMM kemudian harus melihat kader dalam dua prespektif. Yaitu kader
sebagai intelektual yang sekaligus
menjadi mahasiswa, dan yang kedua memandang kader sebagai seorang intelektual
yang nantinya akan bergabung dalam komunitas intelektual yang labih luas pasca
kehidupan di kampus. Secara jelas kita bisa membagi dua prespektif tersebut
dalam uraian sebagai berikut.
a.
intelektualitas kader ketika aktif menjadi Mahasiswa
1. membentuk kader yang
memiliki daya kritis terhadap kondisi masyarakat yang memiliki pemihakan yang
jelas sebagaimana fungsi intelektual (bebas) khususnya gerakan mahasiswa
2. membentuk kader yang
memiliki spesialisasi suatu kompetensi keilmuan tanpa harus membuat dirinya
terkotak dalam sebuah kompetensi yang menimbulkan arogansi atau pribadi masa
bodoh dengan realitas keilmuan maupun masyarakat.
3. membentuk kader yang
memiliki komitmen dan kompetensi sebagai organ dakwah di kalangan Mahasiswa
dalam rangka menyampaikan risalah Islam kepada golongan terpelajar
4. membentuk kader yang
menjadi tulang punggung organisasi baik dalam hal manajemen, kepemimpinan
maupun keberlanjutan proses perkaderan ikatan.
b. intelektualitas
untuk pasca kampus
1.
menghasilkan kader yang siap memasuki birokrasi
pemerintahan, dengan tetap memainkan peran profetiknya untuk mengubah birokrasi
agar lebih human dan berorientasi pada rakyat kecil.
2.
menghasilkan
kader yang siap terjun ke tekno struktur pada suatu koorperasi yang besar dan
menjanjikan posisi manager dan profesional dengan tetap memainkan peran
profetiknya. Untuk melakukan revolusi manajerial, pengambilan tampuk pimpinan
dari pemilik modal, dan mengembangkan koorperasi yang memiliki tanggungjawab
sosial
3. menghasilkan
kader yang siap terjun pada masyarakat, menjadi pemimpin masyarakat,
wirausahawan yang inovatif, pengembangan kepemimpinan yang produktif serta
menciptakan lapangan kerja baru.
4. mengahasilkan
kader yang siap menjadi kader persyarikatan dengan tingkat kearifan yang tinggi
dalam menghadapi dinamika dan pluralitas Muhammadiyah khususnya menghadapi
perbedaan latar belakang kemuhammadiyahan kader (asal Ortom) maupun perbedaan
latar belakang ke-Islaman kader (berasal dari luar Ortom Muhamamdiyah).
Idealnya kader (alumni) IMM bisa menjadi fasilitator dan pemandu kader-kader
intelektual Muhamamdiyah yang bisa berasal dari organisasi kemahasiswaan lain.
Hal tersebut
merupakan sebuah konsep ideal dari perkaderan IMM dengan melihat gambaran dunia
intelektual muslim maupun dunia gerakan mahasiswa. Namun ternyata masih ada
beberapa kendala yang banyak terjadi pada kader.Secara garis besar, kendala
tersebut adalah :
1. IMM kurang bisa
mengelola secara efektif permasalahan pluralitas intelektualitas kader yang
berasal dari IRM, organisasi Islam non-Muhammadiyah (seperti PII, SKI atau
IPNU/IPPNU) sebagai realitas transformasi kader pelajar Muslim maupun kader
non-ideologis untuk dikelola menjadi kekuatan realistis bagi IMM.
2.
Para
Instruktur IMM kurang memiliki percaya diri untuk mengelola darimanapun kader
berasal. Kadang para instruktur berhasil mengkader mahasiswa yang benar-benar
awam dari pergerakan pelajar, namun kurang berhasil dalam mengkader kader yang
berasal dari organisasi pelajar seperti Pelajar Islam Indonesia, Sie Kerohanian
Islam yang kini berkembang pesat dan dalam lokal-lokal tertentu juga identik
dengan gerakan Tarbiyah atau
bahkan Ikatan Remaja Muhammadiyah sebagai realitas sumber kader IMM.
3.
IMM
kurang berhasil membangun percaya diri kader sebagai bagian dari gerakan
mahasiswa maupun lembaga dakwah kampus.
4.
IMM
kurang mampu menghasilkan kader yang bisa menjadi penuntun kader baru Muhammadiyah
dari organisasi Mahasiswa Islam lain untuk ber-Muhammadiyah dan percaya diri menghadapi realita pluralitas
Muhammadiyah yang memungkinkan memasukkan kader Intelektual dari organisasi
Mahasiswa lain.
Dari analisa
kelemahan tersebut diatas, IMM perlu mereka ulang proses perkaderan baik untuk
kader maupun instruktur. Langkah-langkah taktis perlu diambil pada stake
holder perkaderan IMM, sehingga pemecahan-pemecahan masalah perkaderan
seperti diatas bisa diatasi sebelum beranjak pada target perkaderan.
Secara umum
kemudian nuansa Intelektualitas kemudian bukanlah monopoli terjemahan kata
Kemahasiswaan dalam identitas IMM. Namun kata intelektualitas adalah sebuah
konsekuensi ke-Islaman IMM yang kemudian akan mewarnai kehidupan Keagamaan,
Kemahasiswaan dan Kemasyarakatannya.
IV. Penutup
Dalam hal inilah kemudian Ikatan
Mahasiswa Muhamamdiyah harus bisa mengidentifikasi diri, yang kemudian
dimanifestasikan dalam diri kader-kadernya. IMM yang menyatakan diri sebagai
organisasi kader tentunya harus bisa membawa kadernya dalam sebuah alam
perkaderan yang bisa memungkinkan sebuah budaya profetik bila ingin
terintegrasi dalam kelompok intelektual. IMM sebagai organisasi otonom
Muhammadiyah juga harus bisa melepaskan diri dari beratnya membawa nama besar
Muhamamdiyah. Apalagi dengan ciri
sebagai gerakan keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Tentunya sebuah
spesifikasi Intelektual Islam yang mencakupkan dirinya pada ketiga identitas
tersebut menuntut penjelasan yang tidak sekedar mistis, atau ideologis. Namun
tentu harus bisa menurunkan dalam bentuk ide-ide cerdas yang bisa menggairahkan
kadernya untuk membentuk diri sebagai bagian dari Gerakan Mahasiswa, Sebagai
organ Dakwah Mahasiwa, sebagai bagian dari komunitas intelektual.
Jangan sampai
dikemudian hari kita masih berkutat pada masalah-masalah klasik : kader masih
tidak jelas, pluralitas kader kadang menjadi justifikasi kegagalan perkaderan
dan kader sulit untuk menerjemahkan dirinya sebagai hasil “khas” dari
perkaderan IMM. Dalam arti lain, seorang kader IMM kadang sulit untuk
memperlihatkan bentuk yang berbeda daripada hasil perkaderan organisasi lain.
Padahal bila memang tidak ada perbedaanya dengan gerakan lain, apalah arti
keberadaan IMM. Tentunya akan lebih baik menggabungkan IMM dengan gerakan lain
yang dianggap sama tersebut.
Bahkan seakan
peran IMM terakhir dalam BOKMM-pun serta penguasaan media nasional oleh aktifis
IMM tetap sulit mengangkat citra IMM dalam realitas objektif. Sebagai sebuah
indikasi, kita bisa mencoba melihat IMM dari percaturan diskusi dalam tema-tema
Gerakan Mahasiswa, atau tentang Intelektual Muda Bangsa pada level nasional,
ataupun regional. Bahkan mungkin dengan kehadiran Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM) peran IMM untuk masuk dalam lingkaran intelektual muda
bangsa jadi semakin tertutup. Sehingga tulisan ini berusaha memberi bahan untuk
menyusun kembali arah pola perkaderan IMM sebagai upaya menempatkan IMM dalam
rel yang seharusnya. Bukan rel artifisial yang merupakan hasil justifikasi
kegagalan perkaderan atau rel hasil manipulasi elit yang berusaha mendamaikan
hati kader-kadernya dengan candu-candu kebanggaan masa lalu. Atau mungkin
secara kritis kita bisa bertanya, benarkan IMM pernah jaya ? Atau mungkin benar
kalau klaim kejayaan itu hanya candu-candu buatan elit IMM ? Sebagai
pembanding, mungkin kita bisa melihat IMM sebagaimana Andar Nubowo, di Republika (28/10/2003),
melihat Partai Amanat Nasional yang terlampau percaya diri bahwa dengan seorang
Amin Ra’is menjadi “simbol” PAN, maka suara Muhammadiyah secara otomatis akan
didapat tanpa harus bekerja keras meyakinkan publik Muhammadiyah. Sehingga
segenap elemen IMM bisa melakukan otokritik pada diri IMM, apakah IMM juga
terlampau percaya diri sebagai penyandang nama besar Muhammadiyah, yang telah
menjadi salah satu icon golongan intelektual muslim di Indonesia,
sehingga IMM hingga saat ini juga masih kurang
berusaha keras dalam memainkan perannya dalam publik Muhammadiyah, Ummat
dan Bangsa.
Sumber Bacaan :
Abdurrohman, Muslim
2003, Islam sebagai Kritik Sosial, Erlangga, Jakarta.
Fanani,
Ahmad Fuad, 2003, Membangun Tradisi Intelektualitas Mahasiswa, Artikel
Majalah Pelopor edisi 5 tahun I april 2003 IkatanMahasiswa Muhammadiyah
Koordinator Komisariat Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Fakhry,
Majid, 2002. Sejarah Filsafat Islam, Sebuah Peta Kronologis, Penerbit
Mizan Bandung.
Kuntowijoyo
, 1994, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Salahuddin Press,
Yogyakarta
Kuntowijoyo,
1996, Identitas Politik Umat Islam, Penerbit Mizan, Bandung.
Pasiak,
Taufiq 2003, Revolusi IQ/EQ/SQ, tinjauan Al qur’an dan Neurosains, Mizan
Pustaka, Bandung.
Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Tim Perumus Kamus Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balaipustaka, Jakarta.
Raharjo,
M. Dawam 1996,Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah
Cendekiawan Muslim, Penerbit Mizan, Bandung.
Saefuddin,
A.M. 1991, Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi, Penerbit Mizan Bandung
Shadili,
Hasan et. All. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru- Van Hoove, Jakarta.
Syamsuddin,
Muhammad. 1997. Manusia dalam pandangan KH A Azhar Basyir, M.A. Titian
Illahi Press, Yogyakarta.
Ward,
Keith 2001, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu, Mizan Pustaka, Bandung
http://www.geocities.com/geonurk/makalah.html
Posting Komentar
Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.